Forkot, Pandeglang – Memiliki bupati perempuan selama dua periode kepemimpinan ternyata tidak berbanding lurus dengan kondisi perempuan di Kabupaten Pandeglang. Kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak di daerah dengan julukan sebagai Kota Sejuta Santri Seribu Ulama tersebut cukup tinggi.
Dari data yang dilansir Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) saja selama 2023 tercatat 78 kekerasan terhadap perempuan dan terjadi di Pandeglang.
Kondisi tersebut tentu saja membuat miris aktivis perempuan Pandeglang, Rani Israeni, saat Diskusi Isu Sosial dan Politik (Diskotik) “150 Tahun Pandeglang Mau Dibawa Kemana?” yang digelar Majlis Nalar di Halaman Kampus STISIP Banten Raya Pandeglang, Rabu (27/03/2024).
Rani menilai kondisi ini terjadi karena tidak ada kepedulian dari pemangku kebijakan serta permisifnya masyarakat serta tokoh agama terhadap tindakan-tindakan yang merugikan perempuan.
“Yang lebih miris, tahun 2023 lalu kita digegerkan dengan perilaku anggota DPRD Pandeglang dari Partai Nasdem yang dipidana karena melakukan pelecehan seksual. Usai dipidana ia mencalonkan diri sebagai anggota dewan kembali dan menang,” paparnya miris.
Dari fakta-fakta yang terjadi, mahasiswi STISIP Banten Raya tersebut menilai bahwa Pandeglang memang bukan tempat yang ramah untuk perempuan dan anak-anak jika tidak ada terobosan kebijakan dari pemerintah.
Kritikan yang sama dilontarkan Mukhlas Nasrullah, salah satu penggagas Majlis Nalar. Keberpihakan terhadap perempuan, kata Muklas, bukan hanya domain perempuan.
Muklas sepakat dengan Rani, jika usia 150 tahun Kabupaten Pandeglang masih menyisakan pekerjaan rumah yang besar terutama perlindungan terhadap perempuan.
“Masyarakat yang permisif dan gampang lupa, pemerintah yang tidak memiliki arah kebijakan yang jelas juga menjadi salah satu sebab tingginya kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak,” kata mahasiswa Ilmu Pemerintahan tersebut.
Ia juga mengkritik sistem Mahkamah Partai yang lemah saat ada kader dan anggota DPRD dari partai tersebut yang melakukan tindak pidana kekerasan seksual.
“Harus ada hukuman yang jelas dan keras dari Partai yang bersangkutan agar perilaku tersebut tidak terjadi lagi di kemudian hari. Ini juga menjadi bukti kalau partai tersebut tidak berpihak pada perempuan,” tandasnya.
Misalnya di tahun 2023 yang lalu, geger di Kabupaten Pandeglang seorang dewan perwakilan rakyat yang masuk ke dalam sel akibat melakukan pelecehan seksual. Kasusnya memang sudah diadili, dan si dewan tersebut sudah keluar lagi dari rumah jerujinya.
Kini kiprahnya dalam perpolitikan kembali berjalan dengan mulus, artinya masyarakat menerima nya kembali untuk menjadi dewan perwakilan rakyat.
“Tampaknya Pandeglang masih belum cukup ramah terhadap perempuan. Bukan soal keterpilihannya yang kami permasalahan kan, mungkin lebih ke deretan kasusnya saja,” ungkap Rani Israeni salah seorang mahasiswi STISIP Banten Raya, Kamis, 28 Maret 2024.
Bukan cuma itu saja yang ia soroti, beberapa deretan kasus perempuan yang lain juga sama-sama ia sayangkan. Seperti tragedi closet di Majasari, dan lain sebagainya.
Ia juga berharap agar Pemerintah Daerah Pandeglang lebih serius lagi dalam menjamin keselamatan dan kesetaraan perempuan.
“Terutama kepada masyarakat nya juga. Biar kampung halaman tercinta ini tidak disebut sebagai daerah yang krisis pemimpin,” pungkasnya.***
Sumber : M Nasrullah
Editor : Ahmad Muchtarom